Event mega sale seperti Singles’ Day, 12.12, musim Diwali, dan Amazon Prime Day adalah peluang besar untuk mendulang pendapatan. Tapi, hanya jika strategi harga kamu benar-benar tepat.
Coba lihat angkanya: Singles’ Day 2023 menghasilkan GMV online sebesar $156 miliar, dan Amazon Prime Day 2024 mencatat $14,2 miliar hanya dalam dua hari. Tapi event besar seperti ini juga punya margin kesalahan yang sangat kecil.
Pembeli mengharapkan diskon besar. Salah satu survei dari BCG menunjukkan bahwa potongan harga 30% adalah batas minimum untuk dianggap sebagai “penawaran menarik.” Tekanan seperti ini sering membuat brand terjebak dalam kesalahan umum seperti diskon berlebihan, stok habis, atau harga yang tidak konsisten di berbagai channel.
Akibatnya? Laba hilang dan pelanggan kecewa. Di sinilah peran prediksi data jadi penting. Dalam blog ini, kami akan tunjukkan bagaimana cara menyusun strategi harga saat mega sale dengan prediksi data agar kamu terhindar dari kesalahan yang mahal.
Langsung kita mulai!
Zaman mengandalkan strategi tahun lalu atau intuisi saja sudah lewat. Prediksi data menggunakan AI untuk mengubah strategi harga kamu dari reaktif menjadi super tajam.
Dengan menganalisis data historis selama bertahun-tahun, harga kompetitor, tren pencarian, percakapan di media sosial, dan pola musiman, model AI dapat memprediksi permintaan dengan akurasi tinggi.
Contohnya, platform analitik eCommerce berbasis AI seperti Graas menggunakan AI untuk memprediksi tren penjualan beberapa minggu sebelumnya—memberi waktu bagi brand untuk menyiapkan stok, mengalokasikan budget iklan, dan menetapkan harga bertingkat.
Model harga tradisional sering tidak efektif saat mega sale. Diskon tetap yang dirancang jauh-jauh hari biasanya tidak mengikuti perilaku pembeli secara real-time, akibatnya bisa jadi terlalu banyak diskon atau kehilangan potensi pendapatan.
Dynamic pricing yang didukung AI mengubah situasi itu. Sistem ini terus memantau data seperti kecepatan penjualan, aktivitas kompetitor, dan tingkat stok untuk menyesuaikan harga secara langsung.
Hasilnya nyata. Menurut Harvard Business Review, brand yang menggunakan strategi harga berbasis data bisa meningkatkan pendapatan hingga 25%. Kenapa? Karena dynamic pricing memungkinkan kamu menaikkan harga saat permintaan tinggi dan menurunkan harga secara strategis saat konversi melambat. Amazon terkenal karena mengubah harga jutaan kali dalam sehari karena alasan ini.
Fase pertama dari strategi harga dimulai jauh sebelum sale berlangsung. Prediksi sebelum event membantu kamu memutuskan produk mana yang akan didiskon, seberapa besar diskonnya, dan bagaimana ritmenya.
Model AI menganalisis pola trafik, performa penjualan sebelumnya, dan harga kompetitor untuk menetapkan acuan awal—anggap ini sebagai cetak biru harga kamu.
Misalnya, model memprediksi lonjakan permintaan 300% untuk serum terlarismu jika diberi diskon 20%. Kamu bisa langsung tetapkan harga itu, pastikan stok aman, dan bahkan mulai kampanye pre-sale untuk membangun antusiasme.
Beberapa brand menggunakan fase ini untuk uji minat dengan penawaran early access atau promo khusus VIP, lalu menyesuaikan stok atau harga berdasarkan hasil awal.
Saat mega sale berlangsung, platform analitik eCommerce berbasis AI memantau data secara langsung—dari performa produk, ketersediaan stok, perilaku pelanggan, hingga harga kompetitor—untuk memberikan rekomendasi (atau langsung melakukan) penyesuaian harga.
Kalau produk andalanmu laris manis, AI bisa menyarankan pengurangan diskon agar stok cukup. Kalau ada produk yang kurang laku, sistem bisa menyarankan bundling atau diskon kilat yang lebih besar.
Amazon sendiri memperbarui harga setiap 10 menit saat periode puncak.
Setiap kampanye mega sale biasanya dibagi dalam beberapa fase—sebelum, saat, dan setelah event—dan masing-masing fase butuh strategi harga yang berbeda.
Salah satu strategi harga paling efektif sebelum sale adalah menciptakan rasa urgensi lewat penurunan harga dalam waktu terbatas. Flash sale, kupon eksklusif, atau penawaran early access bisa memicu rasa FOMO (takut ketinggalan) dan membantu “memanaskan” niat beli pelanggan sebelum hari H.
Daripada memberikan diskon besar-besaran untuk semua produk, AI prediktif bisa bantu mengidentifikasi SKU mana yang paling cocok untuk teaser seperti ini. Sistem menganalisis sinyal keterlibatan seperti wishlist, klik “beri tahu saya,” dan jumlah kunjungan halaman untuk mendeteksi produk dengan minat tinggi.
Contohnya, kalau Produk X punya visibilitas tinggi tapi konversi rendah, memberi diskon 20% dalam flash sale berdurasi 2 jam bisa menciptakan urgensi cukup untuk mendorong pembelian—tanpa terlalu memangkas margin.
Saat event berlangsung, strategi harga kamu harus secepat dan setangguh perilaku shopper. Di sinilah peran dynamic pricing berbasis AI jadi krusial. Sistem ini memungkinkan kamu merespons data real-time seperti jumlah kunjungan produk, kecepatan penjualan, stok yang menipis, dan harga kompetitor.
Misalnya, jika suatu SKU tiba-tiba trending karena disebut di media sosial atau dipromosikan influencer, AI bisa menurunkan diskonnya (misalnya dari 20% jadi 10%) atau bahkan mengakhiri promo lebih cepat—agar margin tetap terjaga.
Sebaliknya, jika ada produk yang performanya rendah di tengah hari, AI bisa meningkatkan diskon atau menggabungkannya dengan SKU yang lebih laku untuk mempercepat pergerakan.
Penyesuaian harga real-time juga membantu mengatur stok. Kalau produk best-seller mulai hampir habis terlalu cepat, AI bisa sedikit menaikkan harga atau membatasi promo agar tidak kehabisan stok yang seharusnya masih bisa menghasilkan lebih banyak nilai.
Kamu tetap menentukan aturan dasarnya—seperti margin minimum dan batas diskon—dan AI akan menyesuaikan harga dalam batasan tersebut.
Setelah hiruk-pikuk sale selesai, godaan untuk langsung mengembalikan harga ke normal atau terus mendiskon untuk menghabiskan stok sangat besar. Tapi tanpa strategi yang jelas, hal ini bisa menurunkan persepsi nilai produk dan merusak kepercayaan pelanggan. Sebaiknya gunakan pendekatan bertahap berbasis data untuk mengembalikan harga dan menjaga profitabilitas.
Tool AI bisa bantu menganalisis produk mana yang sempat didiskon besar dan bagaimana performanya setelah sale. Daripada langsung naik dari diskon 50% ke harga penuh, kamu bisa naikkan perlahan—misalnya 30% diskon di minggu pertama, lalu 20% di minggu berikutnya, dan hanya menurunkan harga lagi jika penjualan melambat. Pendekatan ini menghindari lonjakan harga yang terlalu tajam dan membantu transisi pasca-sale lebih mulus.
AI juga membantu segmentasi strategi kamu. Jika hanya beberapa SKU yang masih kelebihan stok, kamu bisa target produk tersebut dengan penawaran personal (untuk yang pernah memasukkan ke keranjang atau melihat produk tapi tidak membeli), bundling, atau insentif seperti gratis ongkir.
Bahkan strategi mega sale terbaik pun bisa berantakan karena kesalahan harga yang sebenarnya bisa dicegah. Berikut tiga kesalahan paling umum dan bagaimana prediksi berbasis AI bisa membantu kamu menghindarinya demi kampanye yang lebih cerdas dan menguntungkan.
Diskon besar memang bisa meningkatkan volume penjualan dalam jangka pendek, tapi potongan harga yang terlalu agresif bisa menghancurkan margin dan merusak citra brand. Banyak penjual yang memangkas harga secara panik atau karena merasa harus ikut bersaing.
Alih-alih langsung memberi diskon 50%, AI bisa menunjukkan bahwa diskon 20% saja sudah bisa menghasilkan 85% volume penjualan—dengan margin tetap terjaga. Alat prediksi juga memungkinkan pemberian diskon yang lebih tepat sasaran: potongan lebih dalam hanya diberikan pada SKU dengan trafik tinggi, sementara harga SKU lainnya tetap stabil. Jadi, promonya tetap menarik tanpa menurunkan nilai brand secara keseluruhan.
Harga yang terlalu murah bisa menyebabkan stok habis terlalu cepat, yang artinya kehilangan potensi penjualan dan mengecewakan pelanggan. AI mampu memprediksi permintaan dengan lebih akurat dan menyelaraskan harga dengan kapasitas stok.
Jika sebuah produk diprediksi akan naik tajam, AI bisa menyarankan diskon yang lebih kecil atau menambah stok. Dynamic pricing secara real-time juga bisa memperlambat lonjakan permintaan—dengan sedikit menaikkan harga atau mengakhiri promo lebih awal agar stok tidak benar-benar habis.
Selain itu, AI juga menyeimbangkan stok antar platform, mencegah kasus kehabisan di satu channel sementara channel lain justru kelebihan.
Harga yang tidak selaras di berbagai channel bisa membingungkan pelanggan dan mengikis kepercayaan. AI membantu menjaga keseragaman harga dengan mengontrol pusat harga dan menyinkronkan pembaruan di semua platform. Perbedaan yang memang disengaja (seperti perbedaan biaya D2C vs. marketplace) pun tetap konsisten, bukan terjadi karena kelalaian.
Misalnya, kalau TikTok Shop mengalami lonjakan, AI bisa menyesuaikan harga di platform tersebut tanpa membuat harga di Shopee atau Amazon jadi tidak seimbang. Hasilnya? Harga yang selaras di semua channel, risiko penalti platform lebih kecil, dan citra brand yang lebih solid serta tepercaya.
Kesuksesan mega sale bukan soal memberi diskon besar-besaran—tapi soal membuat setiap keputusan harga jadi tepat sasaran. Prediksi data membantu brand kamu mengambil keputusan berbasis insight, menghindari kesalahan mahal, dan memaksimalkan setiap peluang penjualan.
Brand yang menang besar hari ini adalah mereka yang menggunakan platform analitik eCommerce seperti Graas untuk membuat strategi harga jadi lebih cerdas, bukan sekadar lebih murah.
Gunakan predictive analytics untuk menjadikan mega sale berikutnya sebagai yang paling menguntungkan.